Sabtu, 22 September 2012

Seklumit Sejarah Blora

Blora Era Kerajaan :
Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi : Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang. Blora dibawah Kerajaan Mataram : Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755):
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan : 
Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya Blora sebagai Kabupaten : Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan : 
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Nama Bupati Blora sebelum kemerdekaan adalah : 
Tumenggung Wilatikta ( 1749-1755 )
RT. Djayeng Tirtonoto ( 1762-1782 )
RT. Tirtokusumo ( 1782-1812 )
RT. Prawiro Yudho (1812-1823 )
RT. Tirto Nagoro ( 1823-1842 )
RT. Aryo Cokronagoro I ( 1842 )
RT. Tirto Nagoro ( 1843-1847 )
RT. Panji Noto Nagoro ( 1847-1857 )
RT. Tjokro Nagoro II ( 1873-1886 )
RMT. Tjokro Nagoro III ( 1886-1912)
RM. Said Abdulkadir Jaelani ( 1912-1926 )
RM. Tjakraningrat ( 1926-1938 )
R. Muryono Joyodigdo ( 1938-1942 )
RM. Sudjono ( 1942-1945 )

Bupati Blora dari 1945-2010 adalah :
 Mr. Iskandar ( 1945-1948 )
R. Wibisono ( 1948-1949 )
R. Siswadi Joyosurono ( 1949-1952 )
R. Sudjono ( 1952-1957 )
R. Sunartyo ( 1957-1960 )
R. Sukirno Sastro Dimejo ( 1960-1967 )
Srinardi ( 1967-1973 )
Supadhi Yudhodarmo ( 1973-1979 )
H. Soemarno ( 1979-1989 )
H. Soekardi Hardjoprawiro, MBA.MM ( 1989 -1999 )
Ir. Basuki Widodo ( 2000-2007 )
Drs. RM. Yudi Sancoyo, MM ( 2007-2010 )
Joko Nugroho ( 2010 -..........)

Sumber :
http://santuncahblora.blogspot.com/2007/04/sejarah-kabupaten-blora.html  http://bangdoel38.blogspot.com/2012/05/silsilah-dan-bupati-blora.html

Sabtu, 04 Agustus 2012

Jejak Sejarah Islam Blora di Museum Mahameru

MUSEUM Mahameru yang terletak di kompleks wisata Taman Tirtonadi Blora menyimpan banyak koleksi benda bersejarah peninggalan zaman kerajaan di Indonesia. Benda-benda itu hampir seluruhnya ditemukan di Blora. Dari sekian banyak koleksi yang tersimpan itu sebagian bernuansa islam. Itu ditunjukkan dengan terdapatkan huruf arab pada benda-benda tersebut. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan, tafsir Alquran, dan kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. “Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto. Indikasinya, antara lain didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 Hijriah (1428 Masehi) oleh ulama mesir. Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain, berisi tafsir Alquran surat Al Kahfi sampai Juz 29, ditulis Syeh As-Suyuti dari Mesir. Dari beberapa benda koleksi bernuansa islam di Museum Mahameru, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken, Kecamatan Jiken. Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika perang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 Masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. “Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,” tandasnya. Sunan Pojok Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa islam adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri atas tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid, serta tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi. Dari tulisan di dalam kitab diketahui, pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir, Desa Sukorame, Distrik Tunjungan, Blora. Ada juga kitab yang terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu Sayidina (masalah tanya jawab tentang ilmu islam), MaĆ­rifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid, dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan, benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. “Itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,” tandasnya. Sejumlah versi sejarah menyebutkan, Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan†dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Sejarah itu pernah dikemukakan Kanjeng Raden Tumenggung H Harjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Yogyakarta, khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu. Harjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram. Semasa hidupnya dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan. Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram kala itu. Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 November 1626. Usai menjalankan tugasnya, Sunan Pojok kembali ke Blora. http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=29552

Selasa, 31 Juli 2012

LOKOMATIF C19 BERSEJARAH

Selain mengoperasikan tram untuk sarana transportasi di kota Semarang, perusahaan kereta api swasta Semarang-Joeana Stoomtram Maatschappij (SJS) juga memperpanjang pembangunan jalan rel ke arah timur, yaitu Rembang, Blora dan akhirnya ke Cepu. Rute Semarang – Demak – Kudus – Rembang (197 km) dibangun pada tahun 1883 – 1900, sementara Rute Rembang – Blora – Cepu (70 km) selesai dibangun pada tahun 1902. Rute ini dianggap penting karena di daerah Rembang, Blora dan Cepu memiliki potensi hutan kayu jati yang besar dan sangat kaya akan kandungan minyak bumi. Kandungan minyak bumi di Cepu pertama kali ditemukan pada tahun 1914. Untuk melayani rute tersebut, SJS mendatangkan 12 lokomotif uap C19 dari pabrik Hartmann (Jerman) pada tahun 1898 - 1902. Setelah Perang Dunia II berakhir, 2 lokomotif C19 dipindah dari Jawa ke Sumatra Barat (ditempatkan di dipo Padang) untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatra Barat. Pada akhir masa dinasnya sekitar tahun 1973, lokomotif C19 digunakan untuk menarik gerbong ketel tetes tebu di sekitar Probolinggo – Pajarakan. Semula lokomotif C19 memiliki cerbong asap berbentuk corong namun kemudian digantikan oleh cerobong asap lurus. Lokomotif C19 memiliki susunan roda 0-6-0T. Lokomotif C19 juga dilengkapi dengan kotak pasir (sand box) dari bahan kuningan. Kotak pasir (Sand box) adalah kotak yang diisi dengan pasir yang digunakan untuk menyemprotkan pasir ke jalan rel agar permukaan jalan rel menjadi kering sehingga roda tidak slip. Biasanya roda akan slip jika lokomotif menarik rangkaian kereta dengan beban yang berat atau jalan rel yang menanjak. Berat keseluruhan 19,5 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 30 km/jam dan memiliki daya 255 HP (horse power). Lokomotif C19 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara. Dari 12 lokomotif C19, saat ini masih tersisa 1 buah lokomotif C19, yaitu C19 12 (mulai operasional tahun 1902). C19 12 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=311%3Alokomotif-c19&catid=68&Itemid=133&lang=id

Senin, 30 Juli 2012

KH. ZAINAL ABIDIN

K.H. Zainal Abidin adalah pendiri sebuah pondok pesantren di Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada tahun 1900, dan di sana sekarang menjadi basis penggemblengan Tarekat terbesar di Kabupaten Blora. Daftar isi Kelahiran Berawal dari tokoh agama berjuluk Longko Pati dari desa Nganguk Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bersama istrinya, mereka pindah dari kota Pati ke kota Blora, tepatnya di Banjarwaru Kec. Ngawen Kab. Blora, tanpa diketahui alasannya. Di sinilah lahir seorang putra bungsu bernama Zainal Abidin yang dalam perkembangannya mempunyai kecakapan ilmu agama. Kemahiran ilmu agamanya menimbulkan ketertarikan seorang hartawan di desa Talokwohmojo hingga suatu ketika Zainal Abidin dinikahkan dengan salah seorang putrinya bernama Haminah. Dari pernikahan inipun membawa babak baru dalam sejarah Desa Talokwohmojo. Pendiri Pesantren Melihat potensi anak menantunya, ayah mertua Zainal Abidin meberikan sebidang tanah seluas satu hektar di bilangan desa Talokwohmojo untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama. Pada tahun 1900, di atas tanah pemberian mertuanya, dibangun sebuah langgar kecil untuk salat berjamaah warga sekitar. Selain berjamaah langgar itu juga dijadikan tempat belajar Alquran sekaligus kitab-kitab kuning. Itu sebabnya, tempat ini lebih dikenal sebagai pondok pesantren. Pada tahun-tahun berikutnya Zainal Abidin tidak hanya mengajarkan ilmu fikih dan ilmu Alquran saja, sebab pada tahun 1908 ia resmi diangkat sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah. Artinya beliau telah mendapatkan izin mengajar dan mebaiat para santri tarekat di Desa Talokwohmojo pada khususnya dan warga desa sekitar pada umumnya. Pelajaran tarekat itu didapatkan dari salah seorang mursyid Tareqat Naqsabandiyah Khalidiyah bernama K.H Ahmad Rowobayan, Padangan, Kabupaten Bojonegoro, ujung barat propensi Jawa Timur. Mulai tahun tersebut terdapat dua corak pendidikan agama; fikih-salaf dan tasawuf-tarekat. Pesantren itu merupakan pondok pesantren pertama dan tertua, serta satu-satunya pondok pesantren tarekat di kota Blora. Generasi Penerus Dari pernikahan dengan Haminah beliau mendapatkan sembilan anak dengan perincian anak laki-laki berjumlah enam dan anak perempuan berjumlah tiga. Beliau dinikahkan dengan murid guru tarekatnya bernama Ruqayyah setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dengan Ruqayah beliau mendapatkan tiga putra dan putri. Kemudian pada tahun 1922 K.H Zainal Abidin menghadap Allah Swt. Periode selanjutnya pondok salaf dan tarekat di pegang oleh putra pertama dari istri pertama, K.H Ahmad Hasan. Pada masa ini pondok sempat mengalami guncangan saat menghadapi penjajah, terutama penjajah Jepang. Tindakan represif di alamatkan pada pondok pesantren tersebut, hingga pada akhirnya K.H Ahmad Hasan wafat pada tahun 1942. Sepeninggal K.H Ahmad Hasan, adiknya, K.H Ismail, meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Beliau adalah putra putra kedua dari ibu pertama pendiri pondok tersebut. Beliau murid kesayangan dari K.H Kholil Kasingan Rembang dan juga sempat berguru kepada Hadratus Syekh K.H Hasyim Asyari di Tebuireng. Di tangan K.H. Islamil tersebut pondok mengalami perkembangan pesat, santri dari luar kota mulai berdatangan. Selain tempat persinggahan, pondok tersebut juga digunakan sebagai tempat perlindungan para ulama, pejabat dan masyarakat. Tercatat dalam sejarah pada tahaun 1948 terjadi pemberontakan PKI pertama. Pondok tersebut menjadi tempat perlindungan ulama-ulama dan pejabat pemerintahan dari ancaman PKI. Akhir September pada tahun tersebut Blora dapat dikuasai oleh PKI Muso dan dalam waktu singkat membentuk pemerintahan baru. Para pejabat dan ulama mendapatkan ancaman bahkan aksi pembantaian. Bupati Blora dan tokoh-tokoh yang lain di bantai oleh PKI pada saat itu. Demikian pula saat agresi militer belanda yang kedua pada tahun 1949. Pondok Pesantren tersebut juga pernah menjadi markas pertahanan para tentara dan sukarelawan sewaktu melawan Belanda. K.H Ismail wafat tahun 1956. Perkembangan Pesantren Pada periode ini kepemimpinan diserahkan kepada putra mantu dari putri dari istri kedua K.H Zainal Abidin, yakni K.H Nahrowi. Mulai dari periode ini terdapat pemisahan pengelolaan pondok syariat dan tarekat. K.H Nahrowi mengelola pondok tarekat dan pondok syariat di serahkan pada putra bungsu K.H Zainal Abidin, yaitu K.H Abbas. Pada periode tersebut muncul inisiatif untuk memberikan nama pondok pesantren dengan nama Mambaul Huda. Dalam memegang pondok syariat, K.H. Abbas dibantu K Rosikhin, Putra dari K.H Nahrowi. Namun pada tahun 1976 K.H Abbas wafat dan sepuluh tahun kemudian menyusul K.H Nahrowi. Sepeninggal K.H. Abbas, pondok syariat dipegang oleh K.H Ali Ridlo, yang juga menantu K.H Abbas, sedangkan sepeninggal K.H Nahrowi pondok tarekat diserahkan kepada putranya, K.H Musthofa Nahrowi. Beliau merupakan merupakan mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah yang di baiat oleh ayahnya sendiri. Meskipun banyak perkumpulan pengajian tarekat semisal Syadziliyah dan Qodiriyah, di Blora hanya ada satu mursyid yaitu muryid yang ada di Pondok Pesantren Mambaul Huda. Sekarang, corak pendidikan yang ada di sana bukan hanya syariat dan tareqat, namun juga telah mengikuti kurikulum negara. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_%28tokoh_agama%29