Selasa, 31 Juli 2012

LOKOMATIF C19 BERSEJARAH

Selain mengoperasikan tram untuk sarana transportasi di kota Semarang, perusahaan kereta api swasta Semarang-Joeana Stoomtram Maatschappij (SJS) juga memperpanjang pembangunan jalan rel ke arah timur, yaitu Rembang, Blora dan akhirnya ke Cepu. Rute Semarang – Demak – Kudus – Rembang (197 km) dibangun pada tahun 1883 – 1900, sementara Rute Rembang – Blora – Cepu (70 km) selesai dibangun pada tahun 1902. Rute ini dianggap penting karena di daerah Rembang, Blora dan Cepu memiliki potensi hutan kayu jati yang besar dan sangat kaya akan kandungan minyak bumi. Kandungan minyak bumi di Cepu pertama kali ditemukan pada tahun 1914. Untuk melayani rute tersebut, SJS mendatangkan 12 lokomotif uap C19 dari pabrik Hartmann (Jerman) pada tahun 1898 - 1902. Setelah Perang Dunia II berakhir, 2 lokomotif C19 dipindah dari Jawa ke Sumatra Barat (ditempatkan di dipo Padang) untuk memenuhi kebutuhan transportasi kereta api di Sumatra Barat. Pada akhir masa dinasnya sekitar tahun 1973, lokomotif C19 digunakan untuk menarik gerbong ketel tetes tebu di sekitar Probolinggo – Pajarakan. Semula lokomotif C19 memiliki cerbong asap berbentuk corong namun kemudian digantikan oleh cerobong asap lurus. Lokomotif C19 memiliki susunan roda 0-6-0T. Lokomotif C19 juga dilengkapi dengan kotak pasir (sand box) dari bahan kuningan. Kotak pasir (Sand box) adalah kotak yang diisi dengan pasir yang digunakan untuk menyemprotkan pasir ke jalan rel agar permukaan jalan rel menjadi kering sehingga roda tidak slip. Biasanya roda akan slip jika lokomotif menarik rangkaian kereta dengan beban yang berat atau jalan rel yang menanjak. Berat keseluruhan 19,5 ton. Lokomotif ini dapat melaju hingga kecepatan maksimum 30 km/jam dan memiliki daya 255 HP (horse power). Lokomotif C19 menggunakan bahan bakar kayu jati atau batubara. Dari 12 lokomotif C19, saat ini masih tersisa 1 buah lokomotif C19, yaitu C19 12 (mulai operasional tahun 1902). C19 12 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. http://indonesianheritagerailway.com/index.php?option=com_content&view=article&id=311%3Alokomotif-c19&catid=68&Itemid=133&lang=id

Senin, 30 Juli 2012

KH. ZAINAL ABIDIN

K.H. Zainal Abidin adalah pendiri sebuah pondok pesantren di Desa Talokwohmojo, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, pada tahun 1900, dan di sana sekarang menjadi basis penggemblengan Tarekat terbesar di Kabupaten Blora. Daftar isi Kelahiran Berawal dari tokoh agama berjuluk Longko Pati dari desa Nganguk Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bersama istrinya, mereka pindah dari kota Pati ke kota Blora, tepatnya di Banjarwaru Kec. Ngawen Kab. Blora, tanpa diketahui alasannya. Di sinilah lahir seorang putra bungsu bernama Zainal Abidin yang dalam perkembangannya mempunyai kecakapan ilmu agama. Kemahiran ilmu agamanya menimbulkan ketertarikan seorang hartawan di desa Talokwohmojo hingga suatu ketika Zainal Abidin dinikahkan dengan salah seorang putrinya bernama Haminah. Dari pernikahan inipun membawa babak baru dalam sejarah Desa Talokwohmojo. Pendiri Pesantren Melihat potensi anak menantunya, ayah mertua Zainal Abidin meberikan sebidang tanah seluas satu hektar di bilangan desa Talokwohmojo untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu agama. Pada tahun 1900, di atas tanah pemberian mertuanya, dibangun sebuah langgar kecil untuk salat berjamaah warga sekitar. Selain berjamaah langgar itu juga dijadikan tempat belajar Alquran sekaligus kitab-kitab kuning. Itu sebabnya, tempat ini lebih dikenal sebagai pondok pesantren. Pada tahun-tahun berikutnya Zainal Abidin tidak hanya mengajarkan ilmu fikih dan ilmu Alquran saja, sebab pada tahun 1908 ia resmi diangkat sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah. Artinya beliau telah mendapatkan izin mengajar dan mebaiat para santri tarekat di Desa Talokwohmojo pada khususnya dan warga desa sekitar pada umumnya. Pelajaran tarekat itu didapatkan dari salah seorang mursyid Tareqat Naqsabandiyah Khalidiyah bernama K.H Ahmad Rowobayan, Padangan, Kabupaten Bojonegoro, ujung barat propensi Jawa Timur. Mulai tahun tersebut terdapat dua corak pendidikan agama; fikih-salaf dan tasawuf-tarekat. Pesantren itu merupakan pondok pesantren pertama dan tertua, serta satu-satunya pondok pesantren tarekat di kota Blora. Generasi Penerus Dari pernikahan dengan Haminah beliau mendapatkan sembilan anak dengan perincian anak laki-laki berjumlah enam dan anak perempuan berjumlah tiga. Beliau dinikahkan dengan murid guru tarekatnya bernama Ruqayyah setelah istri pertamanya meninggal dunia. Dengan Ruqayah beliau mendapatkan tiga putra dan putri. Kemudian pada tahun 1922 K.H Zainal Abidin menghadap Allah Swt. Periode selanjutnya pondok salaf dan tarekat di pegang oleh putra pertama dari istri pertama, K.H Ahmad Hasan. Pada masa ini pondok sempat mengalami guncangan saat menghadapi penjajah, terutama penjajah Jepang. Tindakan represif di alamatkan pada pondok pesantren tersebut, hingga pada akhirnya K.H Ahmad Hasan wafat pada tahun 1942. Sepeninggal K.H Ahmad Hasan, adiknya, K.H Ismail, meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Beliau adalah putra putra kedua dari ibu pertama pendiri pondok tersebut. Beliau murid kesayangan dari K.H Kholil Kasingan Rembang dan juga sempat berguru kepada Hadratus Syekh K.H Hasyim Asyari di Tebuireng. Di tangan K.H. Islamil tersebut pondok mengalami perkembangan pesat, santri dari luar kota mulai berdatangan. Selain tempat persinggahan, pondok tersebut juga digunakan sebagai tempat perlindungan para ulama, pejabat dan masyarakat. Tercatat dalam sejarah pada tahaun 1948 terjadi pemberontakan PKI pertama. Pondok tersebut menjadi tempat perlindungan ulama-ulama dan pejabat pemerintahan dari ancaman PKI. Akhir September pada tahun tersebut Blora dapat dikuasai oleh PKI Muso dan dalam waktu singkat membentuk pemerintahan baru. Para pejabat dan ulama mendapatkan ancaman bahkan aksi pembantaian. Bupati Blora dan tokoh-tokoh yang lain di bantai oleh PKI pada saat itu. Demikian pula saat agresi militer belanda yang kedua pada tahun 1949. Pondok Pesantren tersebut juga pernah menjadi markas pertahanan para tentara dan sukarelawan sewaktu melawan Belanda. K.H Ismail wafat tahun 1956. Perkembangan Pesantren Pada periode ini kepemimpinan diserahkan kepada putra mantu dari putri dari istri kedua K.H Zainal Abidin, yakni K.H Nahrowi. Mulai dari periode ini terdapat pemisahan pengelolaan pondok syariat dan tarekat. K.H Nahrowi mengelola pondok tarekat dan pondok syariat di serahkan pada putra bungsu K.H Zainal Abidin, yaitu K.H Abbas. Pada periode tersebut muncul inisiatif untuk memberikan nama pondok pesantren dengan nama Mambaul Huda. Dalam memegang pondok syariat, K.H. Abbas dibantu K Rosikhin, Putra dari K.H Nahrowi. Namun pada tahun 1976 K.H Abbas wafat dan sepuluh tahun kemudian menyusul K.H Nahrowi. Sepeninggal K.H. Abbas, pondok syariat dipegang oleh K.H Ali Ridlo, yang juga menantu K.H Abbas, sedangkan sepeninggal K.H Nahrowi pondok tarekat diserahkan kepada putranya, K.H Musthofa Nahrowi. Beliau merupakan merupakan mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah yang di baiat oleh ayahnya sendiri. Meskipun banyak perkumpulan pengajian tarekat semisal Syadziliyah dan Qodiriyah, di Blora hanya ada satu mursyid yaitu muryid yang ada di Pondok Pesantren Mambaul Huda. Sekarang, corak pendidikan yang ada di sana bukan hanya syariat dan tareqat, namun juga telah mengikuti kurikulum negara. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_%28tokoh_agama%29