Legenda Longko Pati bagi sebagian besar masyarakat Ngawen bahkan Blora tidak banyak yang mengetahui, karena legenda ini tidak popular seperti legenda-legenda yang ada di Blora khususnya di Ngawen. Seperti legenda Noyo Gimbal atau Samin Surasentiko yang sampai saat ini masih banyak yang mengetahui kisah sang legenda walaupun sudah banyak yang terkurangi atau ditambahi dalam legenda tersebut.
Berawal dari Desa Nganguk Kec. Jakenan, Kab. Pati Jawa Tengah yang sering di gunakan oleh KH. Mutamakin (Kajen), KH. Abdul Qohar (Ngampel Blora) dan KH. Muzaro’ah – ada juga yang menyebut dengan nama Jérangah - atau Longko Pati (Kedungjambon Ngawen Blora) bertemu dan membahas strategi untuk melawan penjajah Belanda yang “menguasai” Nusantara saat itu. Dengan intensitas pertemuan yang cukup sering antara tokoh-tokoh agama ini, Belanda tidak senang dan Belanda merasa terganggu kekuasaannya di Nusantara khususnya di wilayah Pati, Belanda merencanakan pengrebekan untuk menangkap ketiga orang tersebut. Setelah tentara Belanda sampai di lokasi pertemuan, baru di intip atau tepatnya dalam bahasa Jawa dianguk para tokoh tersebut sudah melarikan diri dan lolos dari penangkapan Belanda. Konon, dari peritiswa inilah nama desa Nganguk ada.
Dalam pelariannya ; KH. Muzaro’ah bersama istri dan KH. Abdul Qohar menuju daerah Blora, KH. Abdul Qohar yang akhirnya menetap di daerah Blora Utara tepatnya di desa Ngampel Kec. Blora, sedangkan KH. Muzaro’ah akhirnya tiba di Banjarwaru Kec. Ngawen, sebelah barat Blora. Dalam pelariannya, KH. Muzaro’ah tidak hanya mencari aman dari pengejaran tentara Belanda, di Banjarwaru KH. Muzaro’ah juga melakukan syiar agama Islam dengan cara yang sangat baik dan santun. Di Banjarwaru KH. Muzaro’ah bekerja kepada seorang janda yang kaya raya.
Setelah sekian lama bekerja dengan janda kaya raya tersebut, KH. Muzaro’ah mengetahui kebiasaan majikannya yang selalu membungkus uang sebanyak tujuh bungkusan. Melihat hal ini, KH. Muzaro’ah menanyakan kepada sang majikan berkenaan dengan tujuh bungkusan tersebut. Kemudian sang majikan menjelaskan bahwa setiap malam sang majikan selalu di datangi rampok atau begal yang jumlahnya tujuh orang.
Setelah mendapatkan penjelasan dari majikannya, KH. Muzaro’ah memberi saran kepada majikannya untuk tidak membungkus uang lagi di malam selanjutnya dan menjamin keselamatannya untuk malam-malam berikutnya, kecuali di malam yang dimana KH. Muzaro’ah mendapatkan penjelasan tentang tujuh bungkusan tersebut.
Dimalam tersebut, KH. Muzaro’ah memagari rumah sang majikan dengan karomah yang beliau punya dan menunggu kedatangan begal yang selalu datang ke rumah sang majikan untuk meminta jatah uang. Setelah ketujuh begal datang ke rumah majikan KH. Muzaro’ah, mereka tidak bisa masuk kedalam rumah, para begal seperti memanjat batu yang sangat besar. Akhirnya mereka kelelahan memanjat dan akhirnya tertidur, melihat para begal yang kelelahan dan tertidur KH.Muzaro’ah meminta rewang/pembantu majikannya untuk memasak nasi liwet dengan sayur dan lauk-pauknya. Setelah masakan yang beliau minta siap, para begal yang tertidur di bangunkan kemudian diajak makan bersama. Dalam makan bersama begal tersebut, KH. Muzaro’ah menjanji para begal untuk tidak melakukan kejahatan apapun, kalau tidak mereka akan mati dan para begal di tawari untuk masuk Islam dan akhirnya ketujuh begal tersebut sadar dan masuk Islam dan konon menjadi murid KH. Muzaro’ah.
Dalam kisah lain yang penulis dapatkan, bahwa KH. Muzaro’ah apabila mendapatkan/menangkap maling atau penjahat tidak dihukum mati, tetapi di nasehati yang akhirnya sadar agar tidak melakukan kejahatan lagi. Karena pada waktu itu, apabila maling atau penjahat tertangkap pasti dihukum mati.
Dari kedua kisah diatas, KH. Muzaro’ah mendapatkan julukan atau gelar Longko Pati, Longko yang berarti tidak mungkin dan Pati adalah mati, maka Longko Pati adalah orang yang tidak mungkin mati menghadapi para begal dengan karomah yang beliau punya. Menurut KH. Abdul Rozak – cicit KH. Zainal Abidin – gelar Longko Pati didapatkan KH. Muzaro’ah dari Bupati Blora pada waktu itu. Siapa bupati yang menjabat atau tahun berapa KH. Abdul Rozak tidak mengetahuinya.
Dalam perjuangannya syiar agama Islam KH. Muzaro’ah (Longko Pati) di daerah Blora bagian barat diteruskan oleh anak cucunya sampai saat ini. Karena KH. Muzaro’ah mempunyai dua putra dan lima putri, putra pertama adalah KH. Ahmad Kasio yang dimakamkan di samping KH. Muzaro’ah atau Longko Pati di Kedungjambon Sumberejo Ngawen Blora dan KH. Zainal Abidin yang dimakamkan di Komplek PP. Mambaul Huda Talokwohmojo Ngawen Blora. Untuk kelima putri Longko Pati penulis tidak mendapatkan data nama, hanya mendapatkan tempat tinggal terakhir. Untuk tiga putri Longko Pati menetap di Banjarwaru Ngawen Blora, satu di Wonosemi Banjarejo Blora dan satu di Wangil Sambonganyar Ngawen Blora.
Hal yang perlu diketahui bahwa, KH. Muzaor’ah ada hubungan dengan KH. Mutamakin Kajen dan KH. Abdul Qohar Ngampel Blora, sampai saat ini masih simpang siur. Menurut KH. Abdul Rozak ketiga kyai ini bersaudara kandung. Sedangkan informasi yang belum penulis ketehui kebenarannya, bahwa KH. Mutamakin adalah tiga bersaudara, sedangkan dua saudara KH. Mutamakin melarikan diri ke Blora yakni KH. Abdul Qohar dan saudara perempuannya.
sampeyan randu alas Pak manggene, kulo teng sumberejo ngesik
BalasHapusTerus berarti ada hubungannya dengan Mbah djanas Ngawen kah
BalasHapusNyuwun sewu dalemipun penulis pundi nggeh?
BalasHapusmenurut cerita Allohu yarham mbah yai syuhadak.putri mbah muzaro'ah yg asmane mbah Qowi yg menurunkan keturunan wonosemi banjarejo
BalasHapusSetiap Pulang Diceritain ini sama mbah
BalasHapus